Kamis, 08 Desember 2016

Polemik Kewatek

Tulisan ini sebenarnya cuma mau curhat (seperti biasa, kalau sudah tiba waktunya membuat laporan tugas kampus saya malah membuat laporan kehidupan :/ ) tentang perjalanan saya (mungkin juga di alami banyak perempuan lain di Adonara) bertahun tahun menggunakan, mempelajari dan menyelami makna kewatek

Sekardus Harta Karun Keramat 

Satu dari sekian banyak alasan kenapa kemudian saya memutuskan melakukan penelitian soal kewatek di Adonara pada sekitar tahun 2012 adalah karena satu kenangan keramat masa kecil. Ide tentang cinderella, putri salju dll yang membesarkan banyak anak perempuan tidak mampu menyentuh saya, saya membenci baju baru, tidak suka jajan, tidak pernah menangis meraung raung untuk mendapat kan boneka dan jarang nonton tv karena memang belum ada tv :)

Tetapi, ada satu kenangan yang merasuk menelusuk sampai ke alam bawah sadar yang masih teringat sampai hari ini, kenangan saat pertama kali pulang kampung di usia 11 tahun, di ajak kerumah salah satu nenek dari ibu dan di sodorkan sebuah kardus besar lusuh yang berisi benang tua berwarna biru hitam (saya tidak pernah tau detail isinya) dan si nenek berkata, ini adalah milik mu, warisan milik mu.

Hanya itu kalimat nenek yang saya pahami

Selebihnya, ilusi sebagai pewaris benda keramat dan perasaan bahagia memiliki sesuatu yang menjadi warisan seperti di dalam dongeng meletup letup selama jalan pulang, dan ilusi ini di tutup (tetapi tidak di matikan) dengan satu kalimat dari mama "tidak boleh bicara tentang itu kalau tidak bisa urus"
Saya diam (bahkan sampai hari ini, meski sudah berhasil dengan thesis tentang kewatek, saya tetap diam) dan tak pernah lagi menyebut soal sekardus harta karun keramat itu di depan garis mama

Tetapi, kenangan ini yang selalu menguatkan setiap jalan penelusuran kewatek yang saya nikmati

Begitulah, sebuah kardus lusuh menciptakan energi yang sangat besar dan menjaga anak perempuan dalam proses belajar dan berjuang

Susah Move On
Setelah penelitian tentang kewatek yang saya lakukan di Adonara dengan banyak sekali bantuan dari seluruh semesta mulai dari Wageningen sampai Adonara. Saya tidak pernah bisa lepas dari semua ikatan yang saya bangun sejak penelitian, katanya saya "going native", tetapi saya memang berakar disana, jadi  biarlah saya kembali pada pelukan Inak.
Penelitian kemudian menjadi langkah awal dari semuanya, yang membawa pada pameran, promosi dan obsesi. Saya dan mantan pacar kemudian mulai menegaskan diri dalam sebuah nama Uma Nulu Nuda dan mulai mengajak beberapa teman jiwa untuk ikut terlibat.Kami memutuskan banyak hal besar dengan banyak langkah kecil dengan satu tujuan sederhana yang kemudian di tuangkan dalam sebuah manifesto tak terbantahkan "Kembali ke Tenun, Kembali ke Kebun Kembalikan Kedaulatan Petani (http://umanulunuda.blogspot.nl/2014/11/manifesto-uma-nulu-nuda.html)

Ciek Ka Urang Ampek Ka Awak

Ciek Ka Urang Ampek Ka Awak yang secara harafiah berarti satu jari menunjuk pada orang lain, empat jari lain menunjuk pada kita sendiri. Adalah sebuah ungkapan yang mengajarkan sejuta umat yang hidup dalam budaya adat Minangkabau untuk berhati - hati saat hendak menunjuk atau menuduh orang lain.
Ungkapan ini kiranya juga paling pas untuk setiap laki - laki Adonara yang merengek meminta perempuan Adonara untuk menenun atau menggerutui perempuan Adonara yang tak bisa menenun.

Empat jari lain yang menuju pada laki laki tersebut adalah;

Satu jari untuk bertanya sudah kah anda menanam kapas di kebun untuk bisa di tenun?

Satu jari lain akan bertanya adakah anda menyediakan waktu untuk perempuan menenun di sela sela kesibukannya menyediakan makanan dan minuman (perkara menyediakan minuman ini sudah setara dengan politik tingkat Kabupaten yang juga di pengaruhi perkembangan politik Indonesia) untuk kalian makan setiap hari?

Satu jari lagi akan bertanya, siapkah anda bersama perempuan menolak hegemoni cantik menurut standar dunia dalam televisi?

Satu jari lagi dengan sederhana akan bertanya, anda pakai tidak kewatek - Nowin?!!

Memotong Kewatek
Saya mencintai Kewatek dan saya mencintai para perempuan yang menenun benang demi menenun kehidupan anak - anak mereka; menjual tenunan untuk membayar sekolah bahkan kuliah dan sebagian harapannya bergantung pada perputaran ekonomi berbasis tenun di kampung. Itulah jawaban yang selalu saya berikan kepada orang - orang yang selalu berkata, "sayang kewateknya kalau di jahit" saat mereka melihat kewatek saya jadikan gaun, rok, celana, jaket dan masih banyak lagi.
Mestilah ada saat nya dimana tenun tidak hanya di putar pada saat kematian, atau pada saat pernikahan adat (yang katanya cuma terjadi 10 tahun sekali). Bertumpu pada suka dan duka ini saja, maka akan seperti mengkondisikan perempuan kepala keluarga yang pekerjaan utamanya menenun  untuk berharap ada yang meninggal setiap bulan dan menikah setiap bulan -  dua harapan yang sebaiknya tidak di atur oleh manusia.
Karena itu, kain yang sudah di jual masuk ke dalam sistem perekonomian mestilah di manfaat kan sebaik mungkin untuk perkembangan ekonomi keluarga, tentu saja ini bukan tentang Kewatek yang di tenun dengan benang grara atau kewatek sunser a yang sejarahnya kemungkinan sangat politis. Ini tentang kewatek biasa yang sudah diperjual belikan di pasar. 
Sejauh ini, posisi kami jelas memanfaat kan Kewatek Watan, Bukan Kewatek Kiwan, bukan Kewatek Grara apalagi Kewatek Sunser a.

Mungkin akan ada saat nya kewatek kiwan akan masuk pasaran,,,itu kalau empat jari yang lainnya sudah termanajemen dengan baik dengan tentu saja berbasis pada kesepakatan bersama semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Dan yang selalu menguatkan saya dalam proses pengembangan produk dari kewatek adalah bahwa; ada penenun yang datang kepada saya menyerahkan kewateknya untuk saya olah, ada banyak penjual tenun yang sudah sampai mengenali saya (meskipun saya tidak selalu turun ke pasar sendiri) dan menginginkan tenunan nya di beli.

Pada Akhirnya : Semoga Leluhur Lewotana Menuntun Jalan Ini Selamanya





4 komentar: